27 September 2013

Ketika Koleksi Museum dibawa ke Ruang Kreatif, catatan pendek penyelengaraan “Koteklema & Ksatria Laut Lamalera” di Museum Nusa Tenggara Timur (27 September 2013, Maman)

Bagaimana jadinya bila semua yang ada di museum menjadi hidup, seperti kisah penjaga malam museum Larry Daley yang diperankan aktor Ben Stiller dalam film Night at the Museum. Ia harus kepayahan menghadapi semua koleksi museum yang secara tiba-tiba hidup di setiap malam dan membuat semua kegaduhan hingga pagi menjelang. Begitu menariknya film fantasi ini seolah kita diajak bernostalgia hingga ke masa ratusan hingga ribuan tahun lalu, mewakili berbagai peradaban yang dikemas berada dalam satu ruang dan waktu yang sama. Namun itu hanya sebuah karya fiksi imajinatif, lalu pertanyaannya adalah bagaimana cara untuk menghidupkan museum dalam arti sesungguhnya.

Beberapa waktu lalu ada teman-teman pekerja seni dari Yogya dan Jakarta yang datang ke Kupang dan Lamalera untuk menggali informasi dan mendalami arsip koleksi museum, untuk bisa menghidupkannya di ruang kreatif. Mereka adalah salah satu pemenang hibah proyek Kembangkan Arsip budaYA (KARYA), dengan judul proposal “Koteklema & Ksatria Laut Lamalera”. Proyek ini menggunakan metode bercerita/bertutur (story-telling) sebagai sebuah pendekatan penciptaan karya berupa pergelaran seni pertunjukkan berbasis arsip Museum Daerah Nusa Tenggara Timur (MNTT), yang mana MNTT sebagai lembaga yang tergabung dalam Jaringan Arsip Budaya Nusantara (JABN). Kegiatan dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan arsip sejarah dan budaya dengan membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat umum.

Pergelaran kreatif ini melibatkan peran pelajar SMU terpilih di Kota Kupang, yang bertujuan mengenalkan kebudayaan sendiri melalui proses pembelajaran kreatif sebagai salah satu cara mengembangkan arsip museum. Walau dengan persiapan yang minim dan beberapa kekurangan yang terlihat, namun dalam keseluruhannya dapat memberikan usaha dan proses atau learning by doing yang maksimal. Bukan sebagai hasil kerja kreatif tetapi lebih pada proses kreatif itu sendiri, yang terus berlangsung karena manusia tak pernah dilepaskan dari budaya.

Tema kegiatan sendiri berangkat dari nama Koteklema yang adalah jenis ikan paus sperma (physeter macrocephalus) yang diburu oleh masyarakat Lamalera. Sedangkan maksud Ksatria Laut Lamalera adalah sebutan yang merujuk pada para pemburu paus, atau yang disebut dengan Lamafa. Perburuan Koteklema telah menjadi budaya dan tradisi bagi masyarakat Lamalera sejak abad ke-16 hingga saat ini, dan sebuah kebetulan jika di Museum NTT terdapat kerangka koteklema yang pernah terdampar di pesisir pantai Kota Kupang sekitar tahun 1960-an, yang saat ini menjadi koleksi Museum NTT. Penampilannya sederhana menyerupai kerangka fosil hewan-hewan prasejarah koleksi The Department of Paleobiology - Museum of Natural History di Amerika.

Ketika datang ke acara kegiatan yang berlangsung di Museum NTT, kita sengaja diajak untuk melewati pameran benda-benda koleksi museum, sekedar memperlihatkan dan kiranya memancing minat untuk bisa mendalaminya. Layaknya kita memasuki sebuah lorong masa silam yang memperlihatkan sekarang kita berada dimana, dari mana dan hendak kemana. Pergelaran seni dimulai dengan kehidupan masyarakat Lamalera yang mengalami kesulitan bahan pangan dan kemudian mendapatkan berkah untuk menangkap ikan paus di lautan. Hal ini menarik karena mengangkat kisah masyarakat Lamalera yang hidup dalam kesederhanaan dan kemudian bersinggungan dengan adat istiadat, budaya hingga isu internasional. Bagaimana tradisi ini dapat dipertahankan atau mungkin kelak akan tenggelam dalam arus zaman. Kemudian juga dikaitkan dengan tema global konservasi yang menyangkut keberadaan koteklema, tentu masih akan terus diperdebatkan, mungkin kita bisa bijak menilainya bahwa apa yang dilakukan masyarakat Lamalera hanya sebuah usaha untuk memenuhi kebutuhan pokok dan bukan sebuah ajang eksploitasi. Sejalan dengan apa yang dikatakan Mahatma Gandhi bahwa “dunia dapat mencukupi kebutuhan setiap manusia, namun bukan untuk keserakahannya”.

Keseluruhan kegiatan ini mungkin menjadi media yang menarik dibandingkan dengan sesuatu yang komersial memaksakan budaya masuk dalam hegemoni kapital. Ketika para Lamafa dibayar hanya untuk beratraksi menikam udara dan laut yang sepi hanya untuk menghibur para jurnalis internasional dan penonton VIP dan yang tidak mau menyediakan waktu pada momen yang tepat, seolah budaya perburuan sakral yang telah berlangsung ratusan tahun dieksploitasi begitu saja.

Satu juga catatan menarik dengan hadirnya seniman ahli bertutur atau pakarstory-telling yang sakaligus juga bertindak sebagai fasilitator, Agus Nur Amal atau lebih dikenal dengan PM. Toh yang kiprahnya di dunia pedongeng dimulai sejak 1992 dan seringkali muncul dalam beberapa acara televisi. Dalam kesempatan ini PM. Toh membawakan dongeng kisah pemburu paus dengan metode yang mudah dipahami oleh siapa saja. PM. Toh dengan solo performance dan irama cengkoknya yang khas, sepertinya telah menghidupkan kisah menarik melalui dongengnya yang ekspresif dan kocak, layaknya membaca halaman demi halaman buku cerita dengan bahasa dongeng dan gerak hidup yang terus mengalir dan membuat kita tidak terlepas mengikuti dengan serius, apa yang akan dilakukannnya lagi dan lagi secara unik, sederhana dan fresh.

Perlu juga diingat bahwa Nusa Tenggara Timur memiliki begitu banyak kekayaan tradisi sastra lisan, namun seiring waktu kebudayaan lisan itu akan mulai memudar. Padahal kebudayaan di Nusa Tenggara Timur lebih dominan menggunakan budaya lisan yang dituturkan dalam upacara-upacara adat. Dalam pergelaran upacara misalnya dituturkan kisah-kisah para leluhur, silsilah keturunan, peristiwa besar apa yang pernah terjadi dan lain sebagainya. Selama ini budaya bahasa lisan ini dapat bertahan karena pola regenerasi dalam masyarakat adat, namun apakah hal ini dapat terus bertahan. Mungkinkah seniman NTT bisa belajar dari PM. Toh, yang kabarnya mempunyai impian besar mendirikan Institut Tukang Cerita Nusantara, dalam menghidupkan kembali sastra lisan ke cara kreatif yang menarik.

Bahwa sastra lisan yang memuat sejarah budaya lisan bersama dengan artefak benda kebudayaan lainnya dapat menjadi sebuah aset museum yang statis dan kemudian sudah ada yang dilestarikan dalam bentuk rekaman, transkrip, video tape dan metode lainnya, tapi tidak selamamya dapat dikatakan berkembang tanpa sentuhan kreativitas. Aset museum yang semula statis terlalu lama membeku di ruang pamer seharusnya menjadi aset yang perlu dipelajari dan dikembangkan ke ruang-ruang kreatif sehingga dapat menjadi karya yang liquid, dinamis dan humanis. Koleksi museum ini dapat menjadi bahan rujukan (reference) dan penelitian (research). Kemudian jika dikaitkan dengan pelestarian aset museum dengan usaha kreatif melalui pembelajaran masa lalu yang berdampak juga pada pengetahuan masa kini dan mendatang sehingga dalam ruang kreatif budaya dapat ditemukenali dan dilestarikan. Seorang mantan presiden Amerika pernah berujar semakin banyak kita mengetahui masa lalu maka semakin siap menghadapi masa depan.

Apa pelajaran yang dapat dipetik, bahwa museum menarik untuk dikunjungi dengan melihat tampilan koleksi artefak beku dan mati pada ruang statis museum untuk dapat dipelajari dan teliti oleh para penikmat seni dan pemerhati budaya, yang kemudian dijadikan inspirasi dalam penciptaan karya seni kreatif lainnya, melalui media yang lebih ekspresif seperti story-telling, nyanyian, tarian, sajak, novel, seni rupa, audio video hingga sesuatu yang fictional seperti film kisah Larry Daley dengan penghuni-penghuni museum yang “hidup”. Bukankah demikian! (*)


NB. “Koteklema & Ksatria Laut Lamalera”, Produksi oleh Hindra Setya Rini (pengagas ide dan program manajer) - Rifqi Mansur Maya (dokumentator Video & pelaksana teknis) –
Agus Nur Amal / PM. Toh (story-teller & fasilitator)
Kupang, 24-27 September 2013 


Kupang, 27 September 2013

------------------------------------
*sumber:

Tidak ada komentar: